BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Angka
kematian ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu,
kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk
ibu hamil, melahirkan dan masa nifas. Penyebab tingginya angka kematian ibu
juga terutama disebabkan karena faktor non medis yaitu faktor
ekonomi, sosial budaya, demografi serta faktor agama. Sebagai contoh banyak
kaum ibu yang menganggap kehamilan sebagai peristiwa alamiah biasa padahal
kehamilan merupakan peristiwa yang luar biasa sehingga perhatian terhadap
kesehatan ibu hamil harus diperhatikan. Rendahnya pengetahuan ibu terhadap
kesehatan reproduksi dan pemeriksaan kesehatan selama kehamilan juga
menjadi sebab tingginya kematian ibu selain pelayanan dan akses mendapatkan
pelayanan kesehatan yang buruk. (Ketut Sudhaberata,2006)
World Health Organization (WHO) memperkirakan 585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi
kehamilan, proses kelahiran dan aborsi yang tidak aman. Sekitar satu perempuan
meninggal setiap menit. (WHO,2004)
Negara -
negara di Asia termasuk Indonesia adalah negara
dimana warga perempuannya memiliki kemungkinan 20-60 kali lipat dibanding
negara-negara Barat dalam hal kematian ibu karena persalinan dan komplikasi
kehamilan. Di negara-negara yang sedang berkembang, angka kematian ibu
berkisar 350 per 10.000 kematian. Angka kematian ibu di Indonesia adalah 470
per 100.000 kelahiran. Angka yang sangat mengkhawatirkan
karena meningkat dari angka yang tercatat peda beberapa tahun
sebelumnya. Pada tahun 1997, AKI mencapai 397 orang per 100.000 kelahiran yang
berarti bertambah sekitar 73 orang.
Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya,diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat
komplikasi kehamilan atau persalinan. Dengan kecenderungan seperti
ini, pencapaian target MDG untuk menurunkan AKI akan sulit bisa terwujud
kecuali apabila dilakukan upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju
penurunannya.
Data
menunjukkan sebagian besar kematian terjadi pada masyarakat miskin dan mereka
yang tinggal jauh dari Rumah Sakit. Penyebab kematian ibu yang utama adalah
perdarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi. Kontribusi
dari penyebab kematian ibu tersebut masing-masing
adalah perdarahan 28 %, eklampsia 13 %, aborsi yang tidak aman 11%,
serta sepsis 10 %. Salah satu
penyebab kematian tersebut adalah Preeklampsia dan eklampsia yang bersama
infeksi dan pendarahan, diperkirakan mencakup 75 -
80 % dari keseluruhan kematian maternal. Kejadian preeklampsi - eklampsi
dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila CFR PE-E mencapai 1,4%-1,8%. (Zuspan F.P, 1978 dan Arulkumaran ,1995)
Penelitian
yang dilakukan Soedjonoes pada tahun 1983 di 12 RS pendidikan di Indonesia, di dapatkan kejadian PE-E 5,30% dengan
kematian perinatal 10,83 perseribu (4,9 kali lebih besar di banding
kehamilan normal). Sedangkan berdasarkan penelitian Lukas dan Rambulangi tahun 1994, di dua RS
pendidikan di Makassar insidensi preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 0,84%
dan angka kematian akibatnya22,2%.Target penurunan angka kematian ibu menjadi
124 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015 tidak mudah tercapai mengingat sistem pelayanan obsentri emerjensi masih lemah. Akhirnya yang
harus diingat dari informasi diatas adalah sesungguhnya
masalah kematian ibu bukanlah masalah ibu sendiri akan
tetapi merupakan masalah internasional dimana
setiap negara seharusnya memiliki
tanggung jawab untuk menanggulangi dan mencegah kematian ibu.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas:
1.
Pengertian pre
eklamsi?
2.
pengertian eklamsi?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah di atas:
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari pre eklamsi.
2.
Agar dapat
mengetahui apa pengertian eklamsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pre Eklamsi
Preeklamsia
dan eklamsia merupakan suatu komplikasi dari hipertensi pada ibu hamil. Dan
preeklamsia dapat dibagi lagi menjadi preeklamsia ringan dan berat. Di
indonesia, setelah perdarahan dan infeksi preeklampsia masih merupakan sebab
utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu
diagnosis dini preeklamsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklamsia, serta
penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak.
Kekurangan
gizi hingga kini masih menjadi masalah besar bagi dunia ketiga, termasuk
indonesia. Masalah gizi menjadi serius sebab akan berdampak pada melemahnya
daya saing bangsa akibat tingginya angka kesakitan dan kematian , serta
timbulnya gangguan kecerdasan dan kognitif anak. Golongan yang paling rentan
terhadap kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, dan balita. Kecenderungan
semakin tingginya angka kekurangan energi protein pada ibu hamil akan
meningkatkan resiko kesakitan dan kematian ibu serta ibu yang melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah. Bayi yang lahir dengan berat 2500 gram rentan
terhadap gangguan pertumbuhan dan kecerdasan.
Anak
yang kekurangan gizi saat lahir atau semasa bayi berisiko terhadap penyakit
jantung dan pembuluh darah, serta diabetes melitus pada masa dewasa. Resiko
kematian akibat kekurangan gizi juga lebih besar, justru dalam usia produktif.
Pada kehamilan, selain terjadi perubahan psikologis, juga fisiologi.
Oleh karena itu, menegakkan diagnosis dini pre eklamsia dan mencegah agar jangan berlanjut menjadi eklamsia merupakan tujuan pengobatan. Diperkirakan pre eklamsia terjadi 5 % kehamilan, lebih sering ditemukan pada kehamilan pertama. Juga pada wanita yang sebelumnya menderita tekanan darah tinggi atau menderita penyakit pembuluh darah.
Oleh karena itu, menegakkan diagnosis dini pre eklamsia dan mencegah agar jangan berlanjut menjadi eklamsia merupakan tujuan pengobatan. Diperkirakan pre eklamsia terjadi 5 % kehamilan, lebih sering ditemukan pada kehamilan pertama. Juga pada wanita yang sebelumnya menderita tekanan darah tinggi atau menderita penyakit pembuluh darah.
Adapun pembagian pre eklamsi ringan dan berat :
A.
Pre
Eklampsia Ringan
1. Pengertian
Pre
eklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/ atau
edema pada umur kehamilan 20 minggu atau lebih atau pada masa nifas. Gejala ini
dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas.
2. Patofisiologi
Penyebab
pre eklampsia ringan belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai “ maladaptation syndrome” akibat vasospasme general dengan segala
akibatnya.
3. Gejala
Klinis
Gejala
klinis pre eklampsia ringan meliputi :
1) Hipertensi
: sistolik / diastolic e” 140/90 mmHg.
2) Proteinuria
: secara kuantitatif lebih 0,3 gr/liter dalam 24jam atau secara kuantitatif
positif2 (2+).
3) Edema
pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.
4) Timbul
salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda pre eklampsia berat.
4. Pemeriksaan
dan Diagnosis
a) Kehamilan
20minggu atau lebih
b) Kenaikan
tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan pemeriksaan 2 kali selang 6jam
dalam keadaan istirahat (untuk pemeriksaan pertama dilakukan 2 kali setelah
istirahat 10 menit).
c) Edema
pada tungkai (pertibial), dinding perut, lumbosakral, wajah atau tungkai.
d) Proteinuria
lebih 0,3 gram/liter/24 jam, kualitatif (++).
5. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan
rawat jalan pasien pre eklampsia ringan :
1. Banyak
istirahat (berbaring tidur/ miring).
2. Diet
: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
3. Sedativa
ringan : tablet Phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg per oral selama
7 hari.
4. Roborantia
5. Kunjungan
ulang setiap 1 minggu.
6. Pemerikasaan
laboratorium : hemoglobin, hematokrit, trombosit, urine lengkap, asam urat
darah, fungsi hati, fungsi ginjal.
b. Penatalaksanaan
rawat tinggal pasien pre eklampsia ringan berdasarkan criteria
1. Setelah
2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukan adanya perbaikan dari
gejala-gejala pre eklampsia seperti:
2. Kenaikan
berat badan ibu 1 kg atau lebih per minggu selama 2 kali berturut-turut (2
minggu).
3. Timbul
salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda pre eklampsia berat.
Bila setelah 1 minggu perawatan di
atas tidak ada perbaikan maka preeclampsia ringan dianggap sebagai pre
eklampsia berat. Bila dalam perawatan di rumah sakit sudah ada perbaikan
sebelum 1 minggu dan kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat
selama 2 hari lagi baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan
rawat jalan.
c. Perawatan
obstetric pasien pre eklampsia ringan :
1. Kehamilan
preterm (kurang 37 minggu)
a. Bila
desakan darah mencapai normotensif selama perawwatan, persalinan ditunggu
sampai aterm
b. Bila
desakan darah turun tetapi belum mencapai normotensif selama perawatan maka
kehamilannya dapat diakhiri pada umur kehamilan 37minggu atau lebih.
2. Kehamilan
aterm (37 minggu atau lebih ): persalinan ditunggu sampai terjadi usia
persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan persalinan pada taksiran
tanggal persalinan.
3. Cara
persalinan: persalinan dapat dilakukan secara spontan. Bila perlu memperpendek
kala II.
B.
Pre
Eklampsia Berat
1. Pengertian
Pre
eklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau
lebih disertai proteinuria dan / atau pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
2. Kriteria
diagnostik
Ditandai
oleh salah satu hal dibawah ini :
a. Tekanan
darah sistolik atau sama 160 mmHg atau diastolic lebih atau sama dengan 110
mmHg, tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah rawat baring
dirumah sakit.
b. Protein
uria 5 gram atau lebih per 24 jam atau kualitatif positif 3 atau 4.
c. Oliguria
yaitu produksi urin kurang dari 500 cc per 24 jam disertai dengan kenaikan
kreatinin plasma.
d. Gangguan
virus dan cerebral
e. Nyeri
epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas abdomen.
f. Ededma
paru, cyanosis
g. Pertumbuhan
janin intra uterin terlambat
h. Adanya
HELLP syndrome (Hemolisis, Elevated liver function test and low Platelet count)
3. Pentalaksanaan
Ditinjau
dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre eklampsia berat selama
perawatan maka perawatan dibagi menjadi :
a. Perawatan
aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi ditambah pengobatan
medicinal.
b. Perawatan
konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medicinal.
4.
Pengobatan
1. Perawatan
Aktif
a. Sedapat
mungkin sebelum perawatan aktif pada penderita dilakukan pemeriksaan fetal
assessment (NST&USG).
b. Indikasi
1. Ibu
a. Usia
kehamilan 37 minggu atau lebih
b. Adanya
tanda-tanda atau gejala impending eklampsia
c. Kegagalan
terapi koservatif yaiitu setelah 6 jam pengobatan medika mentosa terjadi
kenaiakn tekanan darah atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada
perbaikan
2. Janin
a. Hasil
fetal assessment jelek (NST & USG)
b. Adanya
tanda IUGR
3. Laboratorium
Adanya “ HELLP”
syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
2. Pengobatan
medikamentosa yaitu :
a. Segera
masuk rumah sakit
b. Tidur
baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperikasa setiap 30
menit, reflex patella setiap jam
c. Infuse
dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infuse RL (60-125cc/jam)
500cc.
d. Antasida
e. Diet
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
f. Pemberian
obat anti kejang : diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam dekstrose
10 % selama 4 – 6 jam. Atau MgSO4 40 % 5 gram IV pelan pelan dilanjutkan 5 gram
dalam RL 500cc untuk 6 jam.
g. Diuretic
tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongesif
atau edema anasarka. Diberikan furosenid injeksi 40 mg/ IV.
h. Antihipertensi
diberikan bila : Tekanan darah sistolik e” 180 mmHg, diastolic e” 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Dapat
diberikan catapres ½ - 1 ampul IM dapat diulang tiap 4 jam, atau alfametildopa
3 x 250 mg, dan nifedipin sublingual 5 – 10 mg.
i.
Kardiotonika,
indikasinya bila ada tanda – tanda payah jantung, diberikan digitalisasi cepat
denagn cedilanid.
3. Lain-lain
:
a. Konsul
bagian penyakit dalam / jantung, mata
b. Obat-obat
antipiretik diberikan bila suhu rectal lebih 38,5 derajat celcius dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alcohol atau xylamidon 2 cc IM.
c. Antibiotic
diberikan atas indikasi, diberikan ampicillin 1 gr / 6 jam / IV / hari.
d. Anti
nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat
diberikan petidin HCI 50-75 mg sekali saja, selambat- lambatnya 2 jam sebelum
janin lahir.
4. Pengobatan
Obstetrik
a. Cara
terminasi kehamilan yang belum inpartu
b. Induksi
persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan
dengan fetal heart monitoring.
5. Seksio
serasia bial:
a. Fetal
assessment jelek
b. Syarat
tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya
kontraindikasi tetesan oksitosin.
c. 12
jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
d. Pada
primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesaria.
6. Cara
terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala 1.
a. Fase
laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio sesaria.
b. Fase
aktif : amniotomi saja bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan
lengkap maka dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
a.
Pada persalinan per
vaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan tetesan
oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian terapi medika
mentosa. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang ; bila keadaan memungkinkan, terminasi
ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
b.
Perawatan konservatif
c.
Indikasi : bila
kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda inpending
eklampsia dengan keadaan janin baik.
d.
Terapi medikamentosa
: sama dengan terapi medikamentosa pada
pengelolaan aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup
intramuskuler saja dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
e.
Pengobatan obstetric :
1. Selama
perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif
hanya disini tidak dilakukan terminaasi.
2. MgSO4
dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam 24 jam.
3. Bila
setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa dadal dan
harus diterminasi.
4. Bila
sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4 20% 2
gram intravenous.
f. Penderita
dipulangkan bila :
1. Oenderita
kembali ke gejala-gejala / tanda – tanda pre eklampsia ringan dan telah dirawat
selama 3 hari.
2. Bila
selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan : penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan (diperkirakan lama
perawatan 1-2 minggu).
2.2
Eklampsia
Eklampsia
adalah kelainan akut pada wanita hamil, pada usia kehamilan 20 minggu atau
lebih atau pada masa nifas yang ditandai dengan adanya kejang dan atau koma,
sebelumnya didahului oleh tanda-tanda pre eklampsia.
A.
Patofisiologis
Sama
dengan pre eklampsia dengan akibat yang lebih serius pada organ- organ hati,
gijal, otak, paru-paru dan jantung yakni terjadi nekrosis dan perdarahan pada
organ-organ tersebut.
B.
Gejala
klinis
1. Kehamilan
lebih 20 minggu atau persaslinan atau masa nifas
2. Tanda-tanda
pre eklampsia (hipertensi, edema dan proteinuria)
3. Kejang-kejang
dan / atau koma
4. Kadang-kadang
disertai gangguan fungsi organ
C.
Pemeriksaan
dan diagnosis
1. Berdasarkan
gejala klinis di atas
2. Pemeriksaan
laboratorium :
a. Adanya
protein dalam urin
b. Fungsi
organ hepar, ginjal, dan jantung
c. Fungsi
hematologi / hemostasis
D.
Penatalaksanaan
Tujuan
pengobatan :
1. Untuk
menghentikan dan mencegah kejang.
2. Mencegah
dan mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi
3. Sebagai
penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin.
E.
Penanganannya
:
1. Terapi
medikamentosa sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bilu timbul
kejang-kejang lagi maka dapat diberikan MgSO4 2 gram intravenous selama 2 menit
minimal 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis tambahan 2 gram hanya
diberikan 1 kali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka
diberikan amobarbital / thiopental 3-5 mg / kgBB / IV perlahan-lahan.
2. Perawatan
bersama : konsul bagian saraf, penyakit dalam / jantung, mata, anastesi dan
anak.
3. Perawatan
pada serangan kejang : di kamar isolasi yang cukup terang / ICU
F.
Pengobatan
Obstetrik
1. Apabila
pada pemeriksaan, syarat-syarat untuk mengakhiri persalinan pervaginam dipenuhi
maka persalinan tindakan dengan trauma yang minimal.
2. Apabila
penderita sudah inpartu pada fase aktif, langsung dilakukan amniotomi lalu
diikuti partograf. Bila ada kemacetan dilakukan seksio sesar.
3. Tindakan
seksio sesar dilakukan pada keadaan :
a. Penderita
belum inpartu
b. Fase
laten
c. Gawat
janin
G.
Cara
pemberian diazepam pada pre eklampsi dan eklampsi
1. Pemberian
Intra Vena :
2. Dosis
awal :
a. Diazepam
10 mg IV pelan pelan selama 2 menit.
b. Jika
kejang beulang, ulangi dosis awal
3. Dosis
pemeliharaan :
a. Diazepam
40 mg dalam 500 ml larutan RL perinfus.
b. Depresi
pernafasan ibu, mungkin terjadi jiak dosis > 30 mg/jam.
c. Jangan
diberikan > 100 mg / 24 jam.
4. Pemberian
melalui rektum
a. Jika
pemberian IV tidak mungkin, Diazepam dapat diberikan per rectal, dengan dosis
20 mg dalam semprit 10 ml tanpa jarum.
b. Jika
konvulsi tidak teratasi dalam 10 menit, berikan tambahan 10 mg / jam atau
lebih, bergantung berat badan pasien dan respon klinis.
5. Cara
pemberian magnesium sulfat pada pre
eklampsi dan eklampsi
1. Dosis
awal : 4 gram MgSO4 IV (20% dalam 20 cc) selama 5 menit. Segera dilanjutkan
dengan pemberian 10 garm larutan MgSO4 40 %, masing masing 5 gram bokong kiri,
ditambah 1 ml lignokain 2 % pada semprit yang sama. Pasien akan merasa agak
panas sewaktu pemberian MgSO4, dapat juga diberikan secara perdrip untuk 4-6
jam.
2. Dosis
pemeliharaan : 1-2 gram per jam per infuse. Lanjutkan MgSO4 sampai 24 jam pasca
persalinan atau kejang terakhir.
3. Syarat-
syarat pemberian MgSO4
a. Harus
tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu calcium gluconas 10 %
= 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
b. Refleks
patella positif kuat
c. Frekuensi
pernapasan lebih 16 kali per menit.
d. Produksi
urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
e. MgSO4
dihentikan bila
1. Ada
tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, reflex fisiologis
menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya
dapat menyebabkan kematian karna kelumpuhan otot-otot pernapasan karena ada
serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7 mEq/liter. Reflex fisiologis
menghilang pada kadar 8-10 mEq/liteer. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan
otot-otot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung
2. Bila
timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
a. Hentikan
pemberian magnesium sulfat
b. Berikan
calcium gluconase 10 % 1 gram (10% dalam 10cc) secara IV dalam waktu 3 menit.
c. Berikan
oksigen
d. Lakukan
pernapasan buatan.
3. Magnesium
sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan sudah terjadi
perbaikan (nomotensif).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Suatu kondisi yang bisa dialami oleh setiap wanita hamil, penyakit ini
ditandai dengan tekanan darah yang meninggi diikuti oleh peningkatan kadar
protein dalam urine. Dan dapat menyebabkan gangguan peredaran darah pada
plasenta. Hal ini menyebabkan berat badan bayi yang akan dilahirkan relative
kecil, si ibu akan melahirkan secara premature. Wanita yang terkena eklampsia
juga sering mengalami peningkatan TD, gagal ginjal, kejang-kejang dan dapat
menyebabkanm koma, atau bahkan kematian baik sebelum atau setelah melahirkan.
3.2
Penutup
Untuk pemerintah
hendaknya program utuk menurunkan angka kematian ibu benar benar di jalankan
bukan hanya selogan saja. Perlu di tingkatkan promosi dan pendidikan KIA hingga
tingkat rumah tangga program pemerintah seharusnya dapat menjangkau seluruh
provinsi indonesia. Dan setiap wanita iu hamil hendaknya melakukan kunjungan
antenatal selama periode antenatal untuk mencegah komplikasi kehamilan secara
dini.
DAFTAR PUSTAKA
Achadiant,
chrisdiono. 2004. Obserti Dan Genokologi. Jakarta: EGC.
Bothamley, judy dan maureen boble. 2013.
Patofisiologi Dalam Kebidanan.
Jakarta : EGC.
Stenohever, morton dan tanya sorensen.
1995. Penatalaksanaan Dalam Persalinan.
Jakarta: hipokrates.
Nogroho,
taufan. 2010. Buku Ajar Obstetri.
Yogyakarta. Nuha Medika.
Sujiyatini,
dkk. 2009. Asuhan Patologi Krbidanan.
Yogyakarta: nuha medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar